Religious Myspace Comments
Foto saya
jakarta, Indonesia
Hingga detik ini tak pernah sang matahari berkata pada sang bumi " Kau Berhutang Budi Padaku " Saksikan apa yang terjadi dengan cinta yang demikian. Seluruh penjuru langit terang karenanya ..... Karena CINTA SEJATI.

31/10/10

MENGENAL ALLAH MELALUI ASMA UL HUSNA


Mengenal ALLAH Melalui Asma Ul Husna
dari Buku Menyingkap Tabir-tabir Ilahi
Prof. DR. M. Quraish Shihab
Arief Hikmah
Manusia betapapun kuasa dan kuatnya pasti suatu ketika mengalami ketakutan, kecemasan dan kebutuhan. Memang pada saat kekuasaan dan kekuatan itu menyertainya, banyak yang idak merasakan sedikit keubuthanpun, tetapi ketika kekuasaan dan kekuatan meninggalkannya, ia merasa takut atau cemas dan pada saat itu ia membutuhkan ‘sesuatu’ yang mampu menghilangkan ketakutan dan kecemasannya itu. Boleh jadi pada tahap awal ia mencari ‘sesuatu’ itu pada makhluk, tetapi jika kebutuhannya tidak terpenuhi, pastilah pada akhirnya ia akan mencari dan bertemu dengan kekuatan yang berada di luar alam raya. Itulah Tuhan dengan bermacam-macam nama yang disandang-Nya. Dialah yang diyakini dapat memenuhi kebutuhan manusia, menutupi kekuarangannya, menghilangkan kecemasannya dan sebagainya yang merupakan kebutuhan makhluk. Apa yang dikemukakan di atas, dikonfirmasikan oleh Al Quran antara lain dengan firmanNya :
“Wahai seluruh manusia, kamu adalah orang-orang yang butuh kepada Allah dan Allah adalah Maha Kaya (tidak butuh), lagi Maha terpuji” (QS. Al Fathir 35: 15).
Siapa atau Apa Tuhan ?
Jika Anda ingin berinteraksi dengan seseorang, tentulah Anda perlu mengenalnya, siapa dia serta apa nama maupun sifat-sifatnya ? Tuhan yang mencipta, yang diharapkan bantuanNya serta yang kepadaNya bertumpu segala sesuatu, pastilah lebih perlu dikenal.
“Yang melihat/mengenal Tuhan, pada hakekatnya hanya melihatNya melalui wujud yang terhampar di bumi serta yang terbentang di langit. Yang demikian itu adalah penglihatan tidak langsung serta memerlukan pandangan hati yang tajam, akal yang cerdas lagi kalbu yang bersih. Mampukah Anda dengan membaca kumpulan syair seorang penyair, atau mendengar gubahan seorang komposer,.. dengan melihat lukisan pelukis atau pahatan pemahat, – mampukah Anda dengan melihat hasil karya seni mereka, mengenal mereka tanpa melihat mereka secara langsung ? Memang Anda bisa mengenal selayang pandang tentang mereka, bahkan boleh jadi melalui imajinasi, Anda dapat membayangkannya sesuai dengan kemampuan Anda membaca karya seni, namun Anda sendiri pada akhirnya akan sadar bahwa gambaran yang dilukiskan oleh imajinasi Anda menyangkut para seniman itu, adalah bersifat pribadi dan merupakan ekspresi dari perasaan Anda sendiri. Demikian juga yang dialami orang lain yang berhubungan dengan para seniman itu, masing-masing memiliki pandangan pribadi yang berbeda dengan yang lain. Kalaupun ada yang sama, maka persamaan itu dalam bentuk gambaran umum menyangkut kekaguman dalam berbagai tingkat. Kalau demikian itu adanya dalam memandang seniman melalui karya-karya mereka, maka bagaimana dengan Tuhan, sedang Anda adalah setetes dari ciptaanNya ?” (Abdul Karim Alkhatib, dalam Qadiyat Al-Uluhiyah Bainal Falsafah wad Din).
Kalau Anda masih berkeras untuk mengenalnya maka lakukanlah apa yang dikemukakan di atas tetapi yakinlah bahwa hasilnya akan jauh lebih sedikit dari apa yang Anda peroleh ketika ingin mengenal para seniman itu. Bukankah hasil karya mereka terbatas, itupun belum tentu semuanya dapat Anda jangkau – sedang hasil karya Tuhan sedemikian banyak sehingga mana mungkin Anda akan mampu mengenal-Nya walau pengenalan yang serupa dengan pengenalan terhadap seniman-seniman itu.
Sebenarnya jika Anda mau, ada jalan yang tidak berliku-liku, tidak pula jauh jaraknya. Pandanglah matahari ketika akan terbenam, bentangkanlah maata ke samudera lepas, Anda akan terkagum-kagum oleh keindahan dan keagungannya dan pada akhirnya Anda akan sampai kepada pengenalan Ilahi. Atau ambillah satu makhluk Tuhan ! Mari mendengar suara wahyu yang menjelaskan : ” Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. Amat lemahlah yang merampas (lalat) dan amat lemah pula yang akan merebut, (manusia) ” (QS. Al Hajj 22:73).
Apakah setelah ini, Anda masih akan menjawab tuntas dengan akal pikiran Anda apa dan siapa Tuhan ? Tapi yakinlah bahwa apa yang diinformasikan oleh akal Anda hanya setetes dari samudera. Kalaulah semua hasil pemikiran manusia dikumpul, maka itupun hanya bagaikan sedetik dari waktu yang terbentang ini.
Karena itu ketika Abu Bakar AshShiddiq ditanya ” Bagaimana Engkau mengenal Tuhanmu?” Beliau menjawab “Aku mengenal Tuhan melalui Tuhanku. Seandainya Dia tak ada, Aku tak mengenal-Nya”. Selanjutnya ketika beliau ditanya, “Bagaimana Anda mengenal-Nya?” Beliau menjawab, “Ketidakmampuan mengenalNya adalah pengenalan”.
Tetapi apakah dengan demikian persoalan telah selesai ? Jelas tidak, karena kita ingin berinteraksi denganNya, kita tidak hanya ingin patuh, tetapi juga kagum dan cinta. Jika demikian, dibutuhkan proses pengenalan.
Dalam Quran, Allah tidak diperkenalkan sebagai sesuatu yang bersifat materi, karena jika demikian pastilah ia berbentuk, dan bila berbentuk pasti terbatas dan membutuhkan tempat, dan ini menjadikan Dia bukan Tuhan karena Tuhan tidak membutuhkan sesuatu dan tidak pula terbatas. Disisi lain pasti juga – bila demikian – Dia ada di satu tempat dan tidak ada di tempat lain. Pasti Dia dapat dilihat oleh sebagian dan tidak terlihat oleh sebagian yang lain. Semua ini akan mengurangi kebesaran dan keagunganNya, bahkan bertentangan dengan idea tentang Tuhan yang ada dalam benak manusia.
Tapi ini bukan berarti bahwa Al Quran memperkenalkan Tuhan sebagai sesuatu yang bersifat ide atau immaterial, yang tidak dapat diberi sifat atau digambarkan dalam kenyataan, atau dalam keadaan yang dapat dijangkau akal manusia. Karena jika demikian, bukan saja hati manusia tidak akan tenteram terhadapNya, akalnyapun tidak dapat memahamiNya, sehingga keyakinan tentang wujud dan sifat-sifatNya tidak akan berpengaruh pada sikap dan tingkah laku manusia.
Karena itu Al Quran menempuh cara pertengahan dalam memperkenalkan Tuhan. Dia, menurut Al Quran antara lain Maha Mendengar, Maha Melihat, Hidup, Berkehendak, Menghidupkan dan Mematikan, dan bersemayam di atas Arsy, Tangan Allah diatas tangan mereka (manusia) bahkan Nabi saw menjelaskan bahwa Dia bergembira, berlari dan sebagainya yang kesemuanya mengantar manusia kepada pengenalan yang dapat terjangkau oleh akal, atau potensi-potensi manusia. Namun demikian ada juga penjelasan Al Quran yang menyatakan bahwa “Tidak ada yang serupa denganNya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. Asy Syura 42:11) sehingga, jika demikian ‘apapun yang tergambar dalam benak, atau imajinasi siapapun tentang Allah maka Allah tidak demikian’. Dengan membaca dan menyadari makna ayat ini, luluh semua gambaran yang dapat dijangkau oleh indra dan imajinasi manusia tentang zat Yang Maha Sempurna itu.
Ali bin Abi Thalib pernah ditanya oleh sahabatnya Zi’lib Al yamani, “Amirul mukminin, apakah engkau pernah melihat Tuhanmu ? Apakah aku menyembah apa yang tidak kulihat ?” , jawab beliau. “Bagaimana engkau melihatNya ?”, “Dia tidak dapat dilihat dengan pandangan mata, tetapi dijangkau oleh akal dengan hakekat keimanan”.
Al Asma’ul Husna
Kalau sifat-sifat baik dan terpuji yang disandang manusia/makhluk seperti hidup, kuasa/mampu, pengetahuan, pendengaran, penglihatan, kemuliaan, kasih sayang, pemurah, perhatian dan sebagainya maka pastilah Yang Maha Kuasa pun memiliki sifat-sifat baik dan terpuji dalam kapasitas dan substansi yang lebih sempurna, karena jika tidak demikian, apa arti kebutuhan manusia kepadaNya ?
Terdapat empat ayat yang menggunakan redaksi “Al Asma’ul Husna’, yaitu :
QS. Al A’raf 7 :180
“Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
QS. Al Isra’ 17 : 110
“Katakanlah : serulah Allah atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asmaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu”
QS. Thaha 20:110
“Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Dia mempunyai al asmaul husna (nama-nama yang terbaik).”
QS. Al Hashr 59:24
“Dialah Allah yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-nama yang paling baik. Bertasbih kepadaNya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Kata Al Asma adalah bentuk jamak dari kata Al-Ism yang biasa diterjemahkan dengan ‘nama’. Ia berakar dari kata assumu yang berarti ketinggian, atau assimah yang berarti tanda. Memang nama merupakan tanda bagi sesuatu, sekaligus harus dijunjung tinggi.
Apakah nama sama dengan yang dinamai, atau tidak, bukan disini tempatnya diuraikan perbedaan pendapat ulama yang berkepanjangan, melelahkan dan menyita energi itu. Namun yang jelas bahwa Allah memiliki apa yang dinamaiNya sendiri dengan Al Asma dan bahwa Al Asma itu bersifat husna.
Kata al husna yang berarti terbaik. Penyifatan nama-nama Allah dengan kata yang berbentuk superlatif ini, menunjukkan bahwa nama-nama tersebut bukan saja baik, tetapi juga yang terbaik bila dibandingkan dengan yang baik lainnya, apakah yang baik selainNya itu wajar disandangNya atau tidak.Sifat Pengasih –misalnya- adalah baik. Ia dapat disandang oleh makhluk/manusia, tetapi karena bagi Allah nama yang terbaik, maka pastilah sifat kasihNya melebihi sifat kasih makhluk, dalam kapasitas kasih maupun substansinya. Disisi lain sifat pemberani merupakan sifat yang baik disandang oleh manusia namun sifat ini tidak wajar disandang Allah karena keberanian mengandung kaitan dalam substansinya dengan jasmani sehingga tidak mungkin disandangkan kepadaNya. Ini berbeda dengan sifat kasih, pemurah, adil dan sebagainya. Kesempurnaan manusia adalah jika ia memiliki keturunan tetapi sifat kesempurnaan manusia ini tidak mungkin pula disandangNya karena ini mengakibatkan adanya unsur kesamaan Tuhan dengan yang lain, disamping menunjukkan kebutuhan, sedang hal tersebut mustahil bagiNya.
Demikianlah kata Husna menunjukkan bahwa nama-namaNya adalah nama-nama yang amat sempurna tidak sedikitpun tercemar oleh kekurangan.
Nama/sifat-sifat yang disandangNya itu, terambil dari bahasa manusia, namun kata yang digunakan saat disandang manusia pasti selalu mengandung makna kebutuhan serta kekurangan, walaupun ada diantaranya yang tidak dapat dipisahkan dari kekurangan tersebut dan ada pula yang dapat dipisahkan. Keberadaan pada satu tempat atau arah, tidak munkgin dapat dipisahkan dari manusia dan dengan demikian ia tidak disandangkan kepada Tuhan, karena kemustahilan pemisahannya itu. Ini berbeda dengan kata “kuat”. Bagi manusia, kekuatan diperoleh melalui sesuatu yang bersifat materi yakni adanya otot-otot yang berfungsi baik, dalam arti kita membutuhkan hal tersebut untuk memiliki kekuatan. Kebutuhan tersebut tentunya tidak sesuai dengan kebesaran Allah, sehingga sifat kuat buat Tuhan hanya dapat dipahami dengan menyingkirkan dari nama/sifat tersebut hal-hal yang mengandung makna kekurangan atau kebutuhan itu.
ALLAH
Allah adalah nama Tuhan yang paling populer. Para ulama dan pakar bahasa mendiskusikan kata tersebut antara lain apakah ia memiliki akar kata atau tidak. Sekian banyak ulama yang berpendapat bahwa kata “Allah” tidak terambil dari satu akar kata tertentu, tetapi ia adalah nama yang menunjuk kepada zat yang wajib wujudNya, yang menguasai seluruh hidup dan kehidupan dan yang kepadaNya seharusnya seluruh makhluk mengabdi dan bermohon. Tetapi banyak ulama berpendapat bahwa kata “Allah” asalnya adalah “Ilah” yang dibubuhi huruf alif dan lam, dan dengan demikian Allah merupakan nama khusus karena itu tidak dikenal bentuk jamaknya sedang Ilah adalah nama yang bersifat umum dan yang dapat berbentuk jamak (plural) Alihah. Dalam bahasa Indonesia, keduanya dapat diterjemahkan dengan tuhan, tetapi cara penulisannya dibedakan. Yang bersifat umum ditulis dengan huruf kecil god/tuhan, dan yang bermakna khusus ditulis dengan huruf God/Tuhan.
Alif dan lam yang dibubuhkan pada kata Ilah berfungsi menunjukkan bahwa kata yang dibubuhi itu (dalam hal ini kata Ilah) merupakan sesuatu yang telah dikenal dalam benak. Kedua huruf tersebut disini sama dengan The dalam bahasa Inggris. Kedua huruf tambahan itu menjadikan kata yang dibubuhi menjadi ma’rifat atau definite (diketahui/dikenal). Pengguna bahasa Arab mengakui bahwa Tuhan yang dikenal oleh benak mereka adalah Tuhan Pencipta, berbeda dengan tuhan-tuhan alihah (bentuk jamak dari Ilah) yang lain. Selanjutnya dalam perkembangan lebih jauh dan dengan alasan mempermudah, hamzat yang berada antara dua lam yang dibaca (i) pada kata Al Ilah tidak dibaca lagi sehingga berbunyi Allah dan sejak itulah kata ini seakan-akan telah merupakan kata baru yang tidak memiliki akar kata sekaligus sejak itu pula kata Allah menjadi nama khusus bagi Pencipta dan Pengatur Alam raya yang wajib wujudNya.
Sementara ulama berpendapat bahwa kata “Ilah” yang darinya terbentuk kata “Allah”, berakar dari kata Al-Ilahah, Al-Uluhah, dan Al-Uluhiyah yang kesemuanya menurut mereka bermakna ibadah/penyembahan, sehingga “Allah” secara harfiah bermakna Yang Disembah. Ada juga berpendapat bahwa kata tersebut berakar dari kata “alaha” dalam arti mengherankan atau “menakjubkan” karena segala perbuatan/ciptaanNya menakjubkan atau karena bila dibahas hakekatnya akan mengherankan akibat ketidaktahuan makhluk tentang hakekat zat Yang Maha Agung itu. Apapun yang terlintas di dalam benak menyangkut hakekat zat Allah maka Allah tidak demikian.
Ada juga yang berpendapat bahwa kata “Allah” terambil dari akar kata “Aliha Ya’lahu” yang berarti “tenang”, karena hati menjadi tenang bersamaNya, atau dalam arti “menuju” dan “bermohon”, karena harapan seluruh makhluk tertuju kepadaNya dan kepadaNya jua makhluk bermohon.
Memang setiap yang dipertuhan pasti disembah, dan kepadanya tertuju harapan dan permohonan, lagi menakjubkan ciptaannya, tetapi apakah itu berarti bahwa kata “Ilah” dan juga “Allah” secara harfiah bemakna demikian ? Apakah Al Quran menggunakannya untuk makna “yang disembah” ?
Para ulama yang mengartikan Ilah dengan “yang disembah” menegaskan bahwa Ilah adalah segala sesuatu yang disembah, baik penyembahan itu tidak dibenarkan oleh akidah Islam; seperti terhadap matahari, bintang, bulan manusia atau berhala; maupun yang dibenarkan dan diperintahkan oleh Islam, yakni zat yang wajib wujudNya yakni Allah swt. Karena itu, jika seorang Muslim mengucapkan “laa ilaha illa Allah” maka dia telah menafikan segala tuhan kecuali Tuhan yang namaNya, Allah. QS Al A’raf 7:127 yang dibaca ‘wayazaraka wa ilahataka’. Kata (Ilahataka) dalam bacaan ini adalah ganti dari kata Alihataka yang berarti sesembahan dan yang merupakan bacaan yang syah dan populer. Ada juga yang berpendapat Ilah adalah “Pencipta, Pengatur, Penguasa alam raya, yang di dalam genggaman tanganNya segala sesuatu”. Misalnya firman Allah dalam surat Al Anbiya 2:22. “Seandainya di langit dan dibumi ada ilah-ilah kecuali Allah, niscaya keduanya akan binasa “. Pembuktian kebenaran pernyataan ayat di atas, baru dapat dipahami dengan benar apabila kata Ilah diartikan sebagai Pengatur serta Penguasa Alam Raya yang di dalam genggaman tanganNya segala sesuatu.
Betapapun terjadi perbedaan pendapat itu namun agaknya dapat disepakati bahwa kata “Allah” mempunyai kekhususan yang tidak memiliki oleh kata selainnya; ia adalah kata yang sempurna huruf-hurufnya, sempurna maknanya, serta memiliki kekhususan berkaitan dengan rahasianya,… sehingga sementara ulama menyatakan bahwa kata itulah yang dinamai “ismullah al-a’zam” (nama Allah yang paling mulia), yang bila diucapkan dalam doa, Allah akan mengabulkannya.
Dari segi lafaz terlihat keistimewaannya ketika dihapus huruf-hurufnya. Bacalah kata Allah dengan menghapus huruf awalnya, akan berbunyi Lillah dalam arti milik/bagi Allah; kemudian hapus huruf awal dari kata Lillah itu akan terbaca “Lahu..” dalam arti bagiNya selanjutnya hapus lagi huruf awal dari “lahu” akan terdengar dalam ucapan Hu yang berarti Dia (menunjuk Allah) dan bila inipun dipersingkat akan dapat terdengar suara Ah yang sepintas atau pada lahirnya mengandung makna keluhan tetapi pada hakekatnya adalah seruan permohonan kepada Allah. Karena itu pula sementara ulama berkata bahwa kata “Allah” terucapkan oleh manusia sengaja atau tidak sengaja, suka atau tidak. Itulah salah satu bukti adanya fitrah dalam diri manusia sebagaimana diuraikan pada bagian awal tulisan ini. Al Quran juga menegaskan bahwa sikap orang-orang musyrik ,
“Apabila kamu bertanya kepada mereka siapa yang menciptakan langit dan bumi, pastilah mereka berkata Allah” (QS. Azzumar 39:38).
Dari segi makna dapat dikemukakan bahwa kata Allah mencakup segala sifat-sifatNya, bahkan Dialah yang menyandang sifat-sifat tersebut, karena itu jika Anda berkata, “Ya Allah” maka semua nama-nama/sifat-sifatNya telah dicakup oleh kata tersebut. Di sisi lain jika Anda berkata Ar Rahiim (Yang Maha Pengasih) maka sesungguhnya yang Anda maksud adalah Allah demikian juga jika Anda berkata : Al Muntaqim (yang membalas kesalahan) namun kandungan makna Ar Rahiim tidak mencakup pembalasanNya, atau sifat-sifatNya yang lain. Itulah salah satu sebab mengapa dalam syahadat seseorang harus menggunakan kata “Allah” ketika mengucapkan Asyhadu an La Ilaha Illa Allah dan tidak dibenarkan mengganti kata Allah tersebut dengan nama-namaNya yang lain, seperti Asyhadu An La Ilaha illa ArRahman Ar Rahim.

17 DALIL MUHAMMAD RASULULLAH ADALAH NABI TERAKHIR


1. QS AL AHZAB 40: ” Bukanlah Muhammad itu bapak salah seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-nabi”
2. Imam Muslim dan yang lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Perumpamaan saya dan para Nabi sebelum saya seperti orang yang membangun satu bangunan lalu dia membaguskan dan membuat indah bangunan itu kecuali tempat batu yang ada di salah satu sudut. Kemudian orang-orang mengelilinginya dan mereka ta’juk lalu berkata: ‘kenapa kamu tidak taruh batu ini.?’ Nabi menjawab : Sayalah batu itu dan saya penutup Nabi-nabi”
3. Imam Muslim juga meriwayatkan dari Jubair bin Mut’im RA bahwa Nabi SAW bersabda:
“Sesungguhnya saya mempunyai nama-nama, saya Muhammad, saya Ahmad, saya Al-Mahi, yang mana Allah menghapuskan kekafiran karena saya, saya Al-Hasyir yang mana manusia berkumpul di kaki saya, saya Al-Aqib yang tidak ada Nabi setelahnya”
4. Abu Daud dan yang lain dalam hadist Thauban Al-Thawil, bersabda Nabi Muhammad SAW:
“Akan ada pada umatku 30 pendusta semuanya mengaku nabi, dan saya penutup para Nabi dan tidak ada nabi setelahku”
5. Khutbah terakhir Rasulullah …
” …Wahai manusia, tidak ada nabi atau rasul yang akan datang sesudahku dan tidak ada agama baru yang akan lahir. Karena itu, wahai manusia, berpikirlah dengan baik dan pahamilah kata-kata yang kusampaikan kepadamu. Aku tinggalkan dua hal: Al Quran dan Sunnah, contoh-contoh dariku; dan jika kamu ikuti keduanya kamu tidak akan pernah tersesat …”
6. Rasulullah SAW menjelaskan: “Suku Israel dipimpim oleh Nabi-nabi. Jika seorang Nabi meninggal dunia, seorang nabi lain meneruskannya. Tetapi tidak ada nabi yang akan datang sesudahku; hanya para kalifah yang akan menjadi penerusku (Bukhari, Kitab-ul-Manaqib).
7. Rasulullah SAW menegaskan: “Posisiku dalam hubungan dengan nabi-nabi yang datang sebelumku dapat dijelaskan dengan contoh berikut: Seorang laki-laki mendirikan sebuah
bangunan dan menghiasinya dengan keindahan yang agung, tetapi dia menyisakan sebuah lubang di sudut untuk tempat sebuah batu yang belum dipasang. Orang-orang melihat sekeliling bangunan tersebut dan mengagumi keindahannya, tetapi bertanya-tanya, kenapa ada sebuah batu yang hilang dari lubang tersebut? Aku seperti batu yang hilang itu dan aku adalah yang terakhir dalam jajaran Nabi-nabi”. (Bukhari, Kitab-ul-Manaqib).
8. Rasulullah SAW menyatakan: “Allah telah memberkati aku dengan enam macam kebaikan yang tidak dinikmati Nabi-nabi terdahulu: – Aku dikaruniai keahlian berbicara yang efektif dan sempurna. – Aku diberi kemenangan kare musuh gentar menghadapiku – Harta rampasan perang dihalalkan bagiku. – Seluruh bumi telah dijadikan tempatku beribadah dan juga telah menjadi alat pensuci bagiku. Dengan kata lain, dalam agamaku, melakukan shalat tidak harus di suatu tempat ibadah tertentu. Shalat dapat dilakukan di manapun di atas bumi. Dan jika air tidak tersedia, ummatku diizinkan untuk berwudhu dengan tanah (Tayammum) dan membersihkan dirinya dengan tanah jika air untuk mandi langka. – Aku diutus Allah untuk menyampaikan pesan suciNYA bagi seluruh dunia. – Dan jajaran Kenabian telah mencapai akhirnya padaku (Riwayat Muslim, Tirmidhi, Ibnu Majah)
9. Rasulullah SAW menegaskan: “Rantai Kerasulan dan Kenabian telah sampai pada akhirnya. Tidak akan ada lagi rasul dan nabi sesudahku”. (Tirmidhi, Kitab-ur-Rouya, Bab
Zahab-un-Nubuwwa; Musnad Ahmad; Marwiyat-Anas bin Malik).
10. Rasulullah SAW menjelaskan: ‘Saya Muhammad, Saya Ahmad, Saya Pembersih dan kekafiran harus dihapuskan melalui aku; Saya Pengumpul, Manusia harus berkumpul pada hari kiamat yang datang sesudahku. (Dengan kata lain, Kiamat adalah satu-satunya yang akan datang sesudahku); dan saya adalah Yang Terakhir dalam arti tidak ada nabi yang datang sesudahku”. (Bukhari dan Muslim, Kitab-ul-Fada’il, Bab Asmaun-Nabi; Tirmidhi, Kitab-ul-Adab, Bab Asma-un-Nabi; Muatta’, Kitab-u-Asma-in-Nabi; Al-Mustadrak Hakim,
Kitab-ut-Tarikh, Bab Asma-un-Nabi).
11. Rasulullah SAW menjelaskan: “Allah yang Maha Kuasa tidak mengirim seorang Nabi pun ke dunia ini yang tidak memperingatkan ummatnya tentang kemunculan Dajjal (Anti-Kristus, tetapi Dajjal tidak muncul dalam masa mereka). Aku yang terakhir dalam jajaran Nabi-Nabi dan kalian ummat terakhir yang beriman. Tidak diragukan, suatu saat, Dajjal akan datang dari antara kamu”. (Ibnu Majah, Kitabul Fitan, Bab Dajjal).
12. Abdur Rahman bin Jubair melaporkan: “Saya mendengar Abdullah bin ‘Amr ibn-’As menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah SAW keluar dari rumahnya dan bergabung dengan mereka. Tindak-tanduknya memberi kesan seolah-olah beliau akan meninggalkan kita. Beliau berkata: “Aku Muhammad, Nabi Allah yang buta huruf”, dan mengulangi pernyataan itu tiga kali. Lalu beliau menegaskan: “Tidak ada lagi Nabi sesudahku”. (Musnad Ahmad, Marwiyat ‘Abdullah bin ‘Amr ibn-’As).
13. Rasulullah SAW berkata: ” Allah tidak akan mengutus Nabi sesudahku, tetapi hanya Mubashirat”. Dikatakan, apa yang dimaksud dengan al-Mubashirat. Beliau berkata: Visi yang baik atau visi yang suci”. (Musnad Ahmad, marwiyat Abu Tufail, Nasa’i, Abu Dawud). (Dengan kata lain tidak ada kemungkinan turunnya wahyu Allah di masa yang akan datang.
Paling tinggi, jika seseorang mendapat inspirasi dari Allah, dia akan menerimanya dalam bentuk mimpi yang suci).
14. Rasulullah SAW berkata: “Jika benar seorang Nabi akan datang sesudahku, orang itu tentunya Umar bin Khattab”. (Tirmidhi, Kitab-ul-Manaqib).
15. Rasulullah SAW berkata kepada ‘Ali, “Hubunganmu denganku ialah seperti hubungan Harun dengan Musa. Tetapi tidak ada Nabi yang akan datang sesudahku”. (Bukhari dan Muslim, Kitab Fada’il as-Sahaba).
16. Rasulullah SAW menjelaskan: “Di antara suku Israel sebelum kamu, benar-benar ada orang-orang yang berkomunikasi dengan Tuhan, meskipun mereka bukanlah NabiNYA. Jika ada satu orang di antara ummatku yang akan berkomunikasi dengan Allah, orangnya tidak lain daripada Umar. (Bukhari, Kitab-ul-Manaqib)
17. Rasulullah SAW berkata: “Tidak ada Nabi yang akan datang sesudahku dan karena itu, tidak akan ada ummat lain pengikut nabi baru apapun”. (Baihaqi, Kitab-ul-Rouya; Tabrani)
Arief Hikmah

SETAN PUN HAFAL AL-QUR'AN

Ada dua kasus yang perlu dibahas:
1. Seorang gadis telah hafal Al Quran atau disebut hafizhah, sejak dikatakan bahwa di dalam dirinya terdapat jin, maka dia sekarang sering melamun. Sungguh kasihan, hafalannya pun sudah mulai banyak yang hilang.

2. Ada seorang ibu yang dinyatakan perlu segera diruqyah karena dalam dirinya terdapat jin. Berita ini telah membuat suaminya terkejut, karena merasa kecewa punya istri yang “mengandung” jin. Secara psikologis hubungan keluarga pun mulai terganggu. Akibat pengaruh berita yang senantiasa mewarnai pandangan suami terhadap isterinya, maka setiap kali suami menemukan perilaku isteri yang tidak sesuai dengan harapannya selalu dia hubungkan dengan jin. 


Pertnyaannya: Siapakah nama setan yang telah berhasil mengganggu alhafizhah dan menodai keharmonisan keluarga ini?
Pembahasan:
Memang, ketika disebut kata “setan” maka yang sering tersirat dibenak kita adalah sesuatu yang abstrak. Bahkan, sebagian orang mengatakan bahwa setan itu tidak ada selain sifat-sifat buruk yang ada pada manusia. Betulkah demikian? Marilah kita perhatikan firman Allah:
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS. 6:112)

Pelajaran dari ayat:
- Pada ayat ini sebutan manusia mendahului sebutan jin, pada ayat–ayat lain jin disebut sebelum manusia . Sungguh hal ini sangat menarik untuk kita tadabburi atau kita hayati, ada isyarat apakah di balik sebutan manusia mendahului sebutan jin. Memang setan dari manusia lebih susah untuk diketahui dan dihindari, karena boleh jadi dia tampil lebih ‘alim, tuturkatanya sangat menakjubkan, bahkan sering tampil sebagai penasihat.
Maka sangat mungkin bagi orang yang kurang wawasan keislaman mudah terjebak dan tergoda hingga terjerumus ke dalam jurang kehancuran. Karena itu sebutan setan manusia disebut lebih dulu memberi isyarat betapa pentingnya bagi kita untuk lebih waspada, namun pada kenyataannya, malah sebaliknya. Hal itu boleh jadi akibat kurang mengerti siapa sebenarnya setan dari golongan manusia itu.
Menghindar dari setan manusia tidak cukup hanya dengan berlindung menyatakan mohon perlindungan kepada Allah, tetapi juga sangat penting untuk mengenal dan mamahami langkah-langkah setan tersebut, yaitu dengan menambah wawasan keisliman dan memperdalam ilmu tentang Al Quran dan Sunnah serta kejian terhadap sirah nabawiyah. Lalu, kita kaji banding antara prilakunya dengan akhlak Rasulullah saw. dan para sahabat.
- Setan dari golongan manusia adalah musuh para nabi. Jika tingkat para nabi saja telah dimusuhi setan-setan manusia, apalagi tingkatan umatnya yang sering mengalami penurunan keimanan, kurang wawasan keislaman dan tidak mendapat jaminan keselamatan aqidah karena tidak mendapat bimbingan langsung melalui wahyu Ilahi.
- Kata “sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain”. Praktik membisik tidak berarti dengan suara yang didekatkan kepada telinga hingga tidak terdengar selain oleh yang dibisikinya, tetapi juga memberi makna lain seperti setan-setan manusia juga punya tim atau kelompok yang memiliki profesi yang sama dan antara satu dengan yang lainnya saling tukar pengalaman bahkan menjadi satu organisasi yang solid untuk melaksanakan kegiatannya, hingga sulit diterka bila kegiatan tersebut membawa kepada perusakan.
- Bagaimana tidak, sungguh kata-kata mereka sangat menarik dan manakjubkan. Perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Keluar dari lisan mereka nasihat-nasihat yang indah bahkan diperkuat dengan ayat-ayat Allah dan hadis Rasulullah saw. yang merupakan pegangan kaum muslimin di seluruh dunia. Mereka pun fasih membacakan ayatnya dan banyak hafalannya sehingga julukan ustadz atau kiyai tidak diragukan untuk ditujukan kepada mereka .
- Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. Kita tidak hanya diperintah meninggalkan perkataan mereka, tetapi kita juga diperintah untuk meninggalkan mereka. Hal itu menunjukkan bahwa perkataan mereka sangat membahayakan. Sebenarnya, semua perkataan menyesatkan yang terlihat kotor pasti akan dijauhi orang yang sehat. Namun, jika perkataan itu dikemas dengan kata suci maka orang sehat pun dapat menerimanya.
- Dan apa yang mereka ada-adakan. Tentu jika yang mereka ada-adakan itu murni tanpa dikemas dengan tampilan yang menakjubkan atau tidak didukung dengan dalil yang meyakinkan maka orang lain pun akan menjauhinya meski tidak ada perintah Al Quran untuk menjauhinya. Turunnya perintah tersebut memberi isyarat adanya masyarakat yang kurang menyadari akan berbahayanya praktik penipuan yang dilakukan setan-setan manusia dan jin.
Berkaitan dengan sinyalemen di atas, Rasulullah saw. pun mengingatkan kepada seorang sahabat agar senantiasa waspada terhadap gangguan dan bahaya setan manusia dan jin. Sejajar dengan kandungan ayat di atas, Rasul pun menempatkan bahaya gangguan setan dari golongan manusia mendahului bahaya gangguan setan dari golognan jin. Rasulullah saw. bersabda:
Dari Abu Dzar berkata: aku mendatangi Rasulullah saw pada saat beliau berada di masjid. Aku duku (di dekatnya). Maka beliau bersabda: hai Abu Dzar, apakah kamu sudah melakukan shalat. Aku berkata: belum, beluau bersabda: berdirilah lalu shalatlah! Maka aku pun berdiri dan melakukua shalat. Kemudian aku duduk, maka beliau bersabda: hai Abu Dzar berlindunglah kepada Allah dari kejahatan setan manusia dan jin. Aku berkata: wahai Rasulullah apakah dari golongan manusia ada setan? Beliau bersabda: ya. …… (HR. Ahmad)
Pelajaran dari hadis:
- Abu Dzar seorang sahabat yang terbina pada madrasah Rasulullah saw. Namun demikian, dia pun masih diingatkan akan bahaya setan manusia dan jin.
- Di samping kedudukan Abu Dzar sebagai sahabat, juga dia baru menyelesaikan ibadah shalat. Artinya dia mendapat pelajaran yang sangat penting dari Rasul saw. dalam kondisi suci, karena dia baru menyelesaikan ibadah shalat di masjid yang jauh dari perbuatan kotor dan keji.
- Pelajaran tersebut ternyata perintah untuk berlindung kepada Allah dari kejahatan setan. Hal ini memberi isyarat bahwa orang yang suka beribadah setingkat sahabat pun tidak luput dari sasaran setan.
- Yang menggoda orang yang baru selesai shalat adalah setan dari golongan manusia dan jin. Keduanya harus diwaspadai, namun kewaspadaan terhadap godaan manusia harus diprioritaskan, karena tipu daya setan jenis manusia lebih susah untuk diketahui akibat penampilannya yang tidak asing dan menggunakan argumentasi yang meyakinkan.
- Karena susahnya untuk diketahui, maka Abu Dzar pun mempertanyakan, apakah dari golongan manusia ada setan. Dengan dua teks di atas kita menemukan gambaran siapakah setan yang telah berhasil menggoda seorang hafizhah itu. Untuk lebih jelas lagi perlu kita kaji kasus lain yang terjadi akibat yang sama, yaitu:
Seorang wanita bertemu dengan seorang praktisi ruqyah yang mengatakan bahwa dalam diri wanita tersebut terdapat jin yang harus segera dikeluarkan dengan diruqyah. Dengan berita tersebut maka suaminya terkejut yang akhirnya dia sering menghubungkan berbagai prilaku isteri dengan jin, terutama jika dari prilaku wanita tersebut ada yang tidak disenanginya. Sementara wanita tersebut tidak merasa ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Dari hari ke hari maka keharmonisan keluarga pun mulai terusik dan permasalahan terus membesar. Ketika itulah setan dari golongan jin terus membisik ke dalam dada kedua pihak. Begitulah, salah satu program setan adalah mengganggu keharmonisan hubungan antara suami dengan isterinya. Allah berfirman:
Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. (QS. 2:102).
Bagian ayat di atas memberi penjelasan adanya sihir sejak zaman Nabi Sulaiman dan sihir tersebut menggunakan istilah yang dinisbatkan kepada Nabi Sulaiman walaupun jelas berlawanan dengan ajaran yang dibawanya. Maka tidaklah aneh jika sekarang ditemukan pembawa ajaran jahiliyah yang memisahkan seseorang dengan isterinya atau menjauhkan seorang hafizah dengan Al Quran, namun ajaran tersebut menggunakan ayat Al Quran dan sunnah Nabi saw. Itulah kecerdasan setan dari golongan manusia yang mesti diwaspadai sebagaimana Rasul saw. sabdakan kepada Abu Dzar.
Setan dari golongan manusia ternyata lebih berbahaya daripada setan dari golongan jin. Setan dari golongan jin selalu membisik ke dalam dada manusia dengan menggunakan cara yang gaib. Sedangkan setan dari golongan manusia dapat menggoda manusia dengan berkomunikasi langsung menyampaikan kalimat yang menarik dengan tampilan mempesona, mungkin menamakan diri sebagai orang pintar, dukun, para normal bahkan menamakan diri sebagai seorang tokoh agama yang menyampaikan doa-doa yang diambil dari Al Quran dan hadis Nabi.
Oleh karena, itu sangat penting bagi kita untuk lebih waspada menghadapi bahayanya dan yang lebih berbahaya lagi jika, tanpa disadari, kita sendiri terlibat di dalamnya atau termasuk golongannya.
Ya Allah kami berlindung padaMu dari tergelincir, tersesat, berbuat aniaya, dizalimi, bodoh dan dibodohi.
Kesimpulan:
* Seorang yang telah hafal Al Quran tidak berarti otomatis paham Al Quran. Demikian pula orang yang banyak hafal hadis belum tentu dia memahami dan mengamalkan hadis yang dihafalnya. Orang yang sudah hafal dan mengerti pun tetap harus waspada terhadap rayuan dan bujukan setan.
* Setan tidak selalu tersembunyi dan susah dilihat tetapi mungkin saja dia dapat dilihat dengan jelas namun kita tidak mengenalnya karena tampilannya sangat menarik, tutur katanya sangat menakjubkan bahkan menggunakan argumentasi yang meyakinkan. Dialah setan dari golongan manusia.
* Kita akan dapat mengenalnya dengan jelas setelah memperhatikan orang yang mengikutinya, yaitu membuat orang tersebut sibuk dengan hal yang tidak berarti; mengurangi amal shaleh yang biasa dilakukan sebelumnya; terganggu hubungan rumah tangganya; dan lain-lain.
* Adalah termasuk setan peruqyah yang menuduh ada jin pada seorang hafizhah dan seorang ibu rumah tangga, karena dengan tuduhan tersebut dia telah berhasil membuat seorang hafizhah dan seorang ibu menjauh dari kebiasaan baik yang biasa mereka lakukan sebelumnya.

Info Buku:
Judul: Kiai Meruqyah Jin Berakting
Pengararang: SYAIFUL ISLAM MUBARAK
Penerbit: Syaamil Cipta Media
Tahun: 2005

BIODATA IBLIS (SYAITHAN)





Gelar : Laknatullah ‘Alaihi (semoga Allah melaknatnya)

Lahir : Sebelum diciptakan manusia

Tempat tinggal : Toilet dan rumah yang tidak disebut nama Allah ketika memasukinya

Singgasana : Di atas air

Rumah masa depan : Neraka Jahanam, seburuk-buruk tempat tinggal

Agama : Kafir

Jabatan : Pimpinan Umum orang-orang yang dimurkai Allah dan sesat

Masa Jabatan : Hingga hari Kiamat

Karyawan : Setan jin dan setan manusia

Partner dalam bekerja : Orang yang diam dari kebenaran

Agen : Dukun dan paranormal

Musuh : kaum muslimin

Kekasih di dunia : Wanita yang hobi telanjang dan pamer aurat

Keluarga : Para thaghut

Cita-cita : Ingin membuat semua manusia kafir

Motto : Kemunafikan adalah akhlak yang paling utama

Hobi : Menyesatkan manusia dan menjerumuskan  ke dalam dosa

Lukisan kesayangan : Tato

Mata pencaharian : Mencari harta yang haram

Makanan favorit : Bangkai manusia (ghibah)

Tempat favorit : Tempat-tempat najis dan tempat maksiat

Tempat yang dibenci : Majlis ilmu dan tempat-tempat ketaatan

Alat komunikasi : ghibah (menggunjing), namimah (adu domba) , dan dusta


Jurus Andalan :
1. Memoles kebathilan
2. Menamakan Maksiat dengan nama yang indah
3. Menamakan Ketaatan dengan nama yang tidak disukai
4. Masuk melalui pintu yang disukai manusia
5. Menyesatkan manusia secara bertahap
6. Menghalang-halangi manusia dari kebenaran
7. Berlagak sebagai penasihat


Kelemahan :
1. Tidak berkutik di hadapan orang yang ikhlas
2. kewalahan menghadapi orang yang berilmu
3. Lari dari suara adzan
4. Lari dari rumah yang dibacakan al-Baqarah
5. Menyingkir dari orang yang berdzikir kepada Allah
6. Menangis ketika melihat orang bersujud kepada Allah


Diringkas dan diadaptasi dari kitab “Wiqayatul Insan minal Jin wasy Syayaathin”, karya Wahid Abdus Salam Bali, Oleh : Abu Umar Abdillah
Jangan lupa juga Download Ebook Islam